Minggu, 17 Mei 2009

Mengenang Dede Haris

Jika dalam suatu wawancara Ary Juliyant mengungkapkan musisi yang dikaguminya adalah Dede Harris, ditambah pengakuan yang sama dari Iwan Fals kepada majalah Editor tentang musisi yang dikaguminya (bahkan kepada harian Pikiran Rakyat Iwan menyebut jika Dede adalah gurunya dalam musik). Pengakuan tersebut setidaknya menjadi daya tarik tersendiri tentang kapasitas Dede Harris sebagai musisi balada di Indonesia, yang mungkin cukup referensial untuk dipelajari.


Nama Dede Harris sendiri cukup dikenal di pertengahan 70-an hingga awal tahun 80-an terutama di kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia. Dan khususnya untuk Kota Bandung, Dede cukup dikenal lebih luas, hal ini tak bisa lepas dari dukungan Radio 8 EH (ITB) yang sering memutar lagu–lagu pementasan beliau, dengan berbaur dengan semangat media kala itu yang cenderung mengangkat kritik terhadap berbagai kepincangan sosial di masyarakat.

Sikap yang terkandung pada karya Dede Harris dinilai sangat berani untuk ukuran saat itu, atau lebih tepatnya mungkin bisa dibilang “gila”. Di antara kontrol politik yang cenderung otoriter dengan prilaku yang defensif, Dede malah mengangkat sesuatu yang sifatnya menantang, dengan menunjukkan pada banyak orang tentang wilayah murung dengan profil-profil mirisnya, hal ini mungkin disebabkan karena musik baginya tidak hanya untuk menghibur tetapi juga harus berbicara secara informatif, mengandung misi, dan fungsi kritis, tetapi dengan cara penyajian yang halus. Nurani dan simpati telah menggerakan nalurinya untuk berbicara lebih keras dan cerewet, sehingga represi di jamannya seperti penculikan, atau penghilangan orang yang terasa menyeramkan tidak berlaku untuk beliau. Dede tetap berpentas dengan mempermainkan kemarahanya lewat opininya sendiri, yang kenyataanya telah dia siasati dalam ekspresinya, sehingga permasalahan serius yang terkandung pada liriknya menjadi ringan walaupun tetap saja terasa pilu, dan lewat petikan gitar akustiknya Dede tetap tampil dibanyak pentas.



Dimulai dengan Gitar Pinjaman

Dede Harris lahir di Bandung pada 16 Agustus 1968. Dia adalah anak kedua dari Epe Syafei Adisastra yang bekerja sebagai pengajar di konservatori karawitan Bandung, sementara kakaknya Handi Bratadilaga juga seorang pemain musik. Dede memulai kegiatan musiknya sekitar tahun 70-an, lebih tepatnya saat beliau duduk dikelas 3 SMP. Karena pada saat itu Dede belum mampu membeli gitar, beliau terpaksa meminjam gitar tetangganya (yang belakangan diketahui jika tetangganya adalah Iwan Aburrahman) hanya masalahnya Dede adalah seorang kidal, sehingga jauh lebih sulit baginya untuk belajar memainkan gitar orang biasa, hal yang tercermin lewat pengakuanya pada harian Kompas terbitan Agustus 1993,

"Setiap akor saya hafalkan bagaimana peganganya pada senar. Kadang ada yang tidak terkejar jari terpaksalah saya cari sendiri bentuknya yang lebih mudah.”

Karir musik Dede sendiri dimulai dengan membentuk Depot Kreasi Musik Bandung (1972), kemudian membentuk grup Hande Bolon (1973-1975), Dede mulai bernyanyi dari kampus ke kampus ketika kelas 3 SMA, lalu pada saat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung tahun 1976 Dede mulai mengukuhkan predikatnya sebagai pemusik protes sosial, ketika di masa perpeloncoan dia biasanya disuruh bernyanyi, dengan lagu yang merupakan sindiran terhadap seniornya maupun situasi saat itu. Lalu dalam gerakan kepramukaan di Bandung, Dede sempat membentuk Ambalan musik Dede Haris & Co dan group Douwea Dekker ('79-'82). Sebagai musisi Dede lebih dikenal di kampus-kampus, karena pada saat itu pentasnya yang membawakan lagu-lagu balada serta lagu bertema protes sosial sedang marak di kampus.

Pada tahun 1983 Dede menyelesaikan kuliahnya di Unpar, lalu setahun kemudian beliau mencoba menjadi dosen di almamaternya, tetapi ternyata profesi tersebut tidak sesuai dengan jiwanya, Hede menjadi dosen hanya bertahan delapan bulan. Lalu kemudian Dede memilih bergabung dalam LBH Pengayoman, sambil tetap memilih musik sebagai jalur ekspresi seninya, pada saat itu kalau tidak menggarap musik kampus, Dede menggarap musik teateral, untuk pementasan Teater Bel, Teater Keluarga Rombengan dan Teater Boros di Bandung, yang selalu lekat dengan musik garapan Dede Harris, dan profesi Dede saat itu adalah pengacara dan peneliti pada sebuah pusat studi hukum di Bandung.


Musik dan Puisi

Dieter Mack, seorang profesor musik sekaligus komposer asal Jerman, menilai musik Dede adalah jenis musik balada, sebuah perpaduan antara musik dan puisi yang kemudian berbicara dalam gaya kontemporer. Dinilainya musik Dede memang berbicara, mengandung misi dan fungsi kritik dengan penyajian yang halus. Mack menyebutnya sebagai musik balada, itu dapat dirasakanya pada setiap konsernya di mana Dede sering sekali melontarkan pelesetan yang kontekstual yang sebenarnya cukup serius, hanya saja dengan cara yang sangat akrab dan santai. Lalu pada teknik gitar sendiri Dede mempunyai pendukung bagus untuk liriknya, seperti yang ditulis oleh E Budiman pada harian Media Indonesia terbitan bulan Agustus 1993.

"Dede Harris dikenal sebagai pemetik gitar yang punya teknik khas, yang terletak pada dominasi petikan (pizzicato) gitarnya yang overed. Teknik ini terkesan hendak keluar dari keterbatasan bunyi dawai, keadaan yang disebabkan karena dia bermain kidal. Dua hal itulah yang membuat pentas musik Dede selalu dianggap berhasil, dengan menyajikan suatu musik kontekstual yang dipenuhi berbagai macam kejutan."

Dia tidak hanya mengajak penonton untuk melihat realitas dalam lirik-liriknya tetapi dia juga membuai, dengan tema tentang berbagai persoaalan mulai dari kesenjangan sosial, nasib buruh, anak-anak sampai wanita yang terbuang. Lirik yang dibuat Dede kebanyakan bernada sinis dan penuh olok–olok, yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hal baik untuk masyarakat yang masih ragu dengan budaya kritik, seperti pada lirik Bibi Marijut berikut ini,

Perut keriput/dada bergayut/masih garang tarikanya/rahasia keluarga/rahasia Negara/dipunya dari cumbu cumbu. Apa katanya tentang anak muda/ sedap, tenaga kuda/wangi parfum tubuh senja/tanpa jeda siang malam/riak riang tipu kelam/lestari merajam peradaban.


Dede berusaha menunjukan profil miris pekerja seks tua, dengan sentuhan humornya sebuah masalah serius menjadi ringan dan mengena di kepala pendengar, pada "Balada Semut Hitam", Dede pun bercerita tentang ironi pada fenomena buruh anak-anak saat itu, yang justru mereka bangga karena mampu mendapatkan uang, meski tak sekolah.

Buing/Buing/buing bawalah kami kelangit cita – cita/ buing sirna riangpun sirna/harapanpun sirna buruh kecil kembali ke bising bising mesin kancing/mesin printing/mesin gunting/mesin sinting/ mesin mesin pembunuh masa depan....


Atau perasaan tak segan untuk menyentil pemerintah saat itu yang dirasa sangat sensitif, lewat suara kaum urban, mengenai penggusuran pada lagunya "Hijrah",

Kami tengah ter gesa gesa/Untuk hijrah dengan terpaksa/Meninggalkan tanah tercinta/Yang bersolek tak henti henti/Rumah kami esok tiada/Senyumlah nak pada kamera/Katakan saja kau sukarela/Demi gedung angkuh berdiri/Kita jelang damainya hutan/Hijrah ini kita mulai..

Lalu lirik dengan diksi yang sangat memukau sekaligus intuitif, tentang kesenjangan rasialisme pada I Tjiang Tse, I ,

Hai rumah berpagar tinggi/Aku datang cari cintaku/Gadis kuning tetangga mimpi/I Tjang Tse, Li/Kuketuk pintu nagamu/Dan bersanbut anjing menyalak/Lalu satpamu menyeringai/Betapa rumit berbeda kulit/Meskipun kalbu bernegri Satu/kau curiga, aku curiga/Saling waspada dalam cumbu/Demi budaya aku suka

Tema lainnya yang tak kalah menggelitik seperti pada lagu "Polisi"

Yang paling enak anak polisi/dihormati oplet dan taksi/tunduklah wahai para pengemudi/peluitnya mengundang sanksi/jaman ini jaman polisi/hati hati ambil posisi // yang paling hebat anak tentara/pinjam bedil pistol negara/pasti ditakuti oleh semua/gratis jika naik bis kota//

Sebuah lirik frontal dia buat pada saat peristiwa Malari (menjelang SU MPR saat itu). Suasana politik memanas antara mahasiswa polisi dan ABRI, sebuah lirik yang dapat menggambarkan keadaan sosial saat itu.


Sebuah Potret Keadaan

Dalam mencipta Dede Harris selalu mengamati dan mengedepankan realita sosial yang terjadi di sekitarnya, beliau tidak pernah menolak karyanya disebut sebagai musik protes. Karyanya dinilai berhasil memotret kegiatan masyarakat seutuhnya, dan merekam realita sosial saat itu. Sehinga akhirnya Dede dikenal sebagai musisi dan penyanyi yang punya kelas tersendiri, setidaknya itu terbukti pada antusiasme massa terhadap konsernya di TIM pada tanggal 16 Agustus 1993.

Dede adalah satu di antara sedikit musisi Indonesia yang karyanya diakui punya kemampuan untuk memotret dengan baik, sambil memberi kritik terhadap berbagai peristiwa dan manusianya tentunya. Tuturan puisinya mempunyai gaya yang khas.

Dede memang mewarisi sikap dan semangat patriotik kaum pemusik minoritas, tapi justru hal itulah yang membuat dia menarik untuk dicatat, dengan kesadaranya, beliau menempatkan karya pada wilayah yang menurut-nya tepat, (seperti kampus). dengan mengungkapkan perasaan yang tersembunyi dari sebagian masyarakat, yang terpaksa disimpan dalam-dalam karena ketakutan atau ketidak berdayaan.

dari : Uncluster[Eka Nugraha]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar