Sabtu, 30 Mei 2009

Industri Budaya bagai berjalan di lorong gelap.

Kata KOMPAS pada rubrik Focus halaman 33, Jum'at, 29 Mei 2009. Artikel tersebut membahas apa yang saat ini sedang dihebohkan sebagai Industri Kreatif. Disamping pendapat si penulis, Garin Nugroho menjadi salah satu narasumbernya. Dari pengalaman sukses di Swiss, Garin semakin percaya bahwa yang lokal bisa menjadi global. Tinggal bagaimana kita mengolah, mengemas dan menyajikan, begitu katanya dalam wawancara tentang suksesnya dalam mementaskan bagian pertama trilogi Opera Jawa, Iron Bed. Begitulah umumnya pendapat seniman ketika karyanya diperesentasikan di luar negeri. Mereka cukup puas dengan ditepoki penonton setempat yang jumlahnya bisa dihitung luar kepala. Syukur-syukur diekspose dan dipuji-puji oleh media massa setempat sebagai sesuatu yang spektakuler. Padahal, hemmmmmmm .... siapa tauuuuuk ...! "Apakah iitu ukuran tentang sebuah sukses ... ? " tanya Malau dalam hati.. Beberapa tahun lalu ada group musik yang berkeliling ke bebarapa negara Eropa dengan biaya Pemerintah. Maksud kunjungan itu untuk mempromosikan kepada masyarakat Eropa tentang kebudayaan Indonesia. Tentunya kita semua paham, bahwa kacamata Pemerintah melihat kebudayaan adalah Industri Pariwisata sehingga misi kesenian adalah promosi Pariwisata. Pada kenyataannya, group musik tersebut hanya bermain dari KBRI yang satu ke KBRI yang lain. Dang-kadang pertunjukan mereka digelar dihalaman belakang rumah pak Dubes dan disaksikan hanya oleh pak Dubes, staff Kedutaan, pembantu dan sekaligus anjing peliharaannya. Pemberitahuan atau promosi tentang kunjungan group musik tersebut cukup ditempel pada papan pengumuman internal KBRI. Ketika group musik itu pulang, koran-koran Jakarta memberitakan tentang sukses Eropa Tour group tersebut. "Terus suksesnya opoooo .... ?" celetuk mas Barkah.

Seorang penyanyi kondang Indonesia diundang oleh KBRI ke Tokyo. KBRI menyewa gedung pertunjukan untuk menggelar show sang Artis. Menurut teman mas Barkah yang menjadi Atase di Tokyo, pertunjukan tersebut hanya disaksikan oleh pak Dubes, teman-temanya pak Dubes dan staffnya. Kemudian peristiwa tersebut disebut sebagai ekspansi global dari sang Artis. Seperti juga halnya film Indonesia yang diputar di luar negeri. Hanya diputar dilingkungan terbatas sebagai bagian dari hubungan G to G seperti halnya Kine Club disini dang-kadang dikatakan sebagai beredar di luar negeri. "Ya gitulah .... !" komentar mas Atmo.

Dua tahun lalu mas Barkah memimpin Misi Kebudayaan Indonesia ke Seoul, Korea. Misi tersebut datang atas undangan Pemrintah Republic of Korea untuk berpartisipasi dalam Festival Kebudayaan Asia Timur tentunya mewakili bangsa Indonesia. . "Anjriiiiit ... !" komentar mas Barkah ketika ditanya tentang suksesnya di Korea. Lho ... koq anjriiit ? Ternyata Festival Kebudayaan itu digelar disebuah gedung pertunjukan yang dingin. Dingin karena penontonnya hanya pak Dubes dan setaf serta beberapa orang Panitia Penyelenggara. Pada session berikutnya, penontontonnya hanya murid Taman Nak-Kanak beserta guru-gurunya yang cantik. Murid-murid termasuk gurunya semua berpakaian trainning, mungkin kesenian masuk pelajaran olah raga kaleeee. Seperti juga di TIM, kalau acara kesenian sepi penonton. "Ya gitulah ...!" lenguh mas Barkah seperti sapi piaraan pak Harto..

Sepulang dari Korea, karena dianggap sukses, mas Barkah diangkat sebagai Art & Culture Cooperation for Indonesia-Korea. Mas Atmo marah mendengar mas Barkah kok bisa-bisanya menyebut dirinya sebagai budayawan. "Baca dong kartu nama guwa ...!" mas Barkah menyodorkan kartu nama yang langsung ditampol dan dilempar oleh mas Atmo sejauh-jauhnya. "Pantesnya eloe jadi Syech Puji ... !' kata mas Atmo marah-marah sambil terbang kelangit seperti malaikat.
Mustikabiru
The House of Blue Light
www.ombakdurenew.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar