Jumat, 19 Juni 2009

Surya Mustika Rahmat



*Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat
yang memberi penerangan dan contoh-contoh dari orang-orang
terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa
(QS. 24 : 34)*.

Pada hakikatnya, kehadiran Tuhan dapat di*"rasa"*kan dalam alam jiwa. Untuk
mencernanya, * "rasa"* harus ditransformasikan ke alam pikir. Ketika *
"rasa"* ditransformasikan dari alam jiwa ke alam pikir, tidak tertutup
kemungkinan terjadinya deviasi (penyimpangan) , baik dalam proses maupun
implementasinya. Besar kecilnya deviasi sangat dipengaruhi oleh keseimbangan
antara alam jiwa dan alam pikir. Faktor inilah yang sejatinya akan
menentukan perspektif implementasi konsep Ketuhanan yang akan berimplikasi
luas pada realitas kehidupan.
"*Enggak usah bertele-tele .*..." John Ricky Malau sulit memahami apa yang
dikatakan mas Barkah.
"*Difilmkan aja .*.." usul Indrayanto penuh semangat.

Perspektif nalar dalam konteks diatas, berfungsi sebagai koridor dalam
mencocokan kesaksian kehadiran Tuhan dalam diri dengan nilai normatif
Ketuhanan dalam pikiran. Oleh karena itu, pengetahuan tentang Ketuhanan
tidak ditentukan oleh tingkat intelektualitas semata, tetapi lebih banyak
dipengaruhi oleh kapasitas dan intensitas keyakinan atas kesaksian kehadiran
Tuhan dalam dirinya. Keyakinan yang mengasah dan membuka
ketajaman*pandangan ruh
*melalui kesadaran diri yang multi dimensional.
"*Ngarang banget *... *Bisa ngeliat pocong *.... ?" John Ricky Malau mencela
sambil mencibir.
"*Mata m****u ...* !" mbak Anti menghardik John Ricky Malau.
Mas Barkah cuek babi.

Pada umumnya, Ketuhanan dipahami melalui kemapanan rasional dalam perspektif
ajaran agama. Ajaran yang penuh rambu normatif yang formalistik. Pada
situasi tertentu, manusia secara indiviual menganggap rambu-rambu tersebut
sangat dogmatis sehingga tidak mampu lagi menjawab problematik riil dalam
kehidupannya. Rambu-rambu itu dianggap sebagai suatu bentuk yang otoriter,
sesuatu yang membatasi kebebasan dalam mengartikan Ketuhanan. Oleh sebab
itu, tak tertutup kemungkinan individu tersebut akan berupaya mencari
jawaban dan jalannya sendiri dalam pencarian Tuhannya. Situasi sepertiitu
akan menempatkan dirinya pada suatu dataran luas yang hampir sama sekali
tanpa jejak. Dataran yang penuh probability, yang dalam khayalannya penuh
dengan kenyataan. Khayalan itu pada hakikatnya dipenuhi dengan nilai
relatif yang dinamis dan tidak terikat ruang dan waktu. Untuk memahaminya,
perlu diciptakan rambu-rambu dalam diri sendiri dengan format tertentu.
Rambu-rambu inilah yang sejatinya akan menuntun perjalanan manusia dalam
pencarian Tuhan melalui refleksi nilai-nilai relatif tadi.
"*Rambu-rambu ni yeee *.... !" komentar John Ricky Malau disingkat JRM untuk
mengganjal eksisitensi JDR.
"*Rambu-rambu lalu lintas jembatan Suramadu banyak dicuri orang* ...!" mbak
Anti nyeletuk enggak nyambung.
"*Emang guwa pikirin* .... !" komentar Krisno Bossa yang makin enggak
nyambung.

Nilai relatif yang dimaksud dapat dikatakan sebagai pengertian yang terang
tentang sesuatu yang tak terdefinisikan. Nilai yang dapat dipahami sebagai
suatu petunjuk tentang realitas yang melampaui segala bentuk dan ungkapan
luar. Bentuk adalah suatu yang terdefinisikan sebagai penampakan luar.
Sedangkan sesuatu yang tak terdefinisikan adalah makna atau hakikat, yakni
sesuatu yang tidak terikat sebagai realita yang tersembunyi.
Tidak ada awal dan akhir ............ ......... ....
Tidak ada sebab dan akibat ............ .........
Tidak ada ruang dan waktu ............ ......... .
Yang ada hanyalah ada ............ ......... ......... .
TO BE OR NOT TO BE.
HAMLET.
ROMEO and YULIET.
SHAKESPEARE .........
*Teriak JRM enggak nyambung ............ ......

Mustikabiru
*The House of Blue Light
www.ombakdurenew. blogspot. com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar